Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 28 Juni 2013

Morelia Viridis - Phyton Eksotik Indonesia

Green Tree Python (Morelia Viridis) 

atau yang biasa dikenal dengan nama Chondro banyak terdapat di Papua Indonesia. Ular Chondro tinggal di habitat yang lembab dan bagian tropis yang hangat. Chondro termasuk satwa yang mulai langka di tempat asalanya karena penghancuran habitat, perdagangan kulitnya & diburu untuk makanan. Seperti kebanyakan ular pohon, chondro memangsa binatang pengerat (tikus, mencit) dan unggas kecil. Chondro dewasa bisa berukuran panjang hingga 2,1 meter untuk specimen yang besar, sedangkan untuk specimen yang medium, chondro bisa mencapai panjang 1.8 meter. Chondro suka bergelung di pohon, melingkarkan diri dengan kuat di cabang pohon.
Chondro memiliki lubang thermosensory di sepanjang labial atas dan bawah. Kebanyakan Chondro berwarna hijau cerah tapi ada beberapa chondro dewasa yang berwarna biru atau kuning (chondro canary). Sebagian besar Chondro memiliki serangkaian titik putih/biru dan atau bintik lateral yang jelas terlihat. Bayi chondro memiliki warna yang sangat variable. Bayi chondro bisa berwarna merah bata, kuning lemon hingga coklat. Anehnya, semua warna ini bisa ditemukan di clutch telur yang sama.
Oya, nama ilmiah Morelia Viridis baru didapatkan pada tahun 1994, sebelumnya nama ilmiah chondro adalah Chondropython viridis. Penggantian nama ini menunjukkan kekerabatan chondro yang sangat dekat dengan carpet python. Bayi chondro bisa berubah warna secara drastis dan ini dimulai saat bayi chondro berumur beberapa minggu hingga berumur 2 tahun. Musim kawin chondro biasanya terjadi pada akhir bulan August hingga akhir bulan Desember dan chondro bertelur sekitar akhir bulan November hingga Februari. Chondro betina harus memiliki tempat untuk bertelur yang menggantung atau telur akan jatuh ke tanah. Masa inkubasi telur chondro adalah 39 hingga 65 hari.
Chondro mencari mangsa di tanah pada malam hari dan tidur di siang hari. Lubang thermosensory membantu mereka mengenali perubahan suhu. Contohnya, jika ada hewan yang bersuhu tubuh hangat mendekati jangkauannya, chondro akan dapat mengenali perubahan suhunya.Secara keseluruhan, chondro adalah ular yang cantik & sangat popular. Warnanya bervariasi & indah. (Red.Satwakita/Foto. flens)

Yellow-bellied Sunbird (Cinnyris jugularis)

Cinnyris jugularis
Cinnyris jugularis
The Olive-backed Sunbird, Cinnyris jugularis, also known as the Yellow-bellied Sunbird, is a species of sunbird found from Southern Asia to Australia.

The sunbirds are a group of very small Old World passerine birds which feed largely on nectar, although they will also take insects, especially when feeding young. Their flight is fast and direct on their short wings. Most species can take nectar by hovering, but usually perch to feed most of the time. Olive-backed Sunbird in the Philippines Male hovering while feeding

The Olive-backed Sunbird is common across southern China to the Philippines and Malaysia down to northeast Australia. They are small songbirds, at most 12 cm long. In most subspecies, the underparts of both male and female are bright yellow, the backs are a dull brown colour. The forehead, throat and upper breast of the adult male is a dark, metallic blue-black. In the Philippines (where they are known as "tamsi")the males of some subspecies have an orange band on the chest, in Wallacea and northern New Guinea some subspecies have most of the underparts blackish, and in southern China and adjacent parts of Vietnam most of the underparts of the male are greyish-white.

Originally from mangrove habitat, the Olive-backed sunbird has adapted well to humans, and is now common even in fairly densely populated areas, even forming their nests in human dwellings.

The birds mate between the months of April and August. Both the male and the female assist in building the nest which is flask-shaped, with an overhanging porch at the entrance, and a trail of hanging material at the bottom end.

After building the nest, the birds abandon the nest for about a week before the female returns to lay one or two greenish-blue eggs. The eggs take a further week to hatch. The female may leave the nest for short periods during the day during incubation. After the chicks have hatched, both male and female assist in the care of the young, which leave the nest about two or three weeks later

Source : Wikipedia

Minggu, 23 Juni 2013

Biuku Si Kura Air Tawar Raksasa

Biodiversitas Indonesia - Orlitia borneensis atau yang lebih dikenal masyarakat lokal dengan nama byuku ini adalah kura-kura air tawar terbesar di Asia Tenggara. Ini adalah merupakan kura-kura semi-akuatik, menghuni danau besar, rawa dan sungai yang mengalir lambat.

Bentuk karapas oval kehitaman atau coklat gelap, dan plastron berwarna kekuningan pucat. Orlitia dewasa karapasnya lebih datar dan berpola kotak-kotak, namun remaja yang lebih bundar dan bergerigi posterior. Kaki berselaput besar dan menyerupai dayung, serta kuku cakar yang panjang dan tebal.

Kura-kura ini diyakini omnivora, mungkin memakan buah jatuh dan materi tanaman lainnya, serta ikan dan vertebrata lain yang tersedia.

Kamis, 20 Juni 2013

Capung Sebagai Bioindikator perairan


Serangga purba ini termasuk dalam keluarga Odonata dan mempunyai dua jenis yang paling sering kita temui yaitu capung besar (dragonfly) dan capung jarum (damselfly). Capung jarum bentuknya memang seperti jarum, jauh lebih kecil daripada capung besar dan biasanya hanya terdapat di dekat aliran air. Peran capung sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat. Ia dijadikan sebagai indikator air bersih dan lingkungan yang sehat. Kehidupan capung memang tidak dapat dipisahkan dari air. Sebelum menjadi capung dewasa, capung hidup sebagai serangga air selama beberapa bulan hingga tahun dan hanya dapat bertahan hidup di dalam air yang bersih dan tidak tercemar. Bersyukur kalau masih bisa bertemu banyak capung karena itu bisa dijadikan pertanda bahwa perairan di sekitar kita masih bersih. Lingkungan sekitar kita yang penuh dengan pencemaran dan polusi telah merusak habitat capung. Populasi capung banyak berkurang begitu pula jenisnya.
Tidak hanya di Indonesia, berbagai negara di seluruh dunia juga merasakannya. Hingga ada yang mencatat beberapa species dari keluarga Odonata terancam punah. Oleh karena itu mari kita jaga kebersihan lingkungan..disamping untuk kenyamanan kita sendiri, kita juga turut melestarikan keanekaragaman hayati di muka bumi ini.

Siamang - Gibon Sumatera

The siamang (Symphalangus syndactylus) is a tailless, arboreal, black-furred gibbon native to the forests of Sumatra. The largest of the lesser apes, the siamang can be twice the size of other gibbons, reaching 1 m in height, and weighing up to 14 kg. The siamang is the only species in the genus Symphalangus.



Siamang merupakan hewan yang lebih aktif pada siang hari. Mereka bersosialisasi dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari dua sampai tiga ekor siamang.. Berbeda dengan kera lainnya, siamang tidak mempunyai tempat khusus untuk tidur. Mereka hanya tidur sendiri atau dengan beberapa ekor siamang di celah antar cabang pada pepohoan.Mereka tidur dengan posisi tegak, bersandar pada bantalan keras yang terletak di ujung belakang mereka..Bantalan ini disebut ischial callosities.Selain itu, siamang memiliki kantung tenggorokan yang biasa disebut kantung gular. Kantung ini dapat mengembang menjadi besar seperti kepala mereka yang berfungsi membuat pita suara lebih keras.Pada waktu dalam keadaan bahaya, siamang betina akan mengeluarkan suara yang nyaring dan diikuti oleh siamang jantan selama tiga hingga lima belas menit..Suara mereka dapat terdengar dari jarak sekitar 6,5 km..Siamang tidak dapat berenang dan takut air. Siamang dapat bertahan hidup sekitar 35-40 tahun.

Siamang merupakan hewan omnivora. Sektar 75% makanan mereka adalah buah, sisanya daun, bunga, biji-bijian, dan kulit kayu. Mereka juga memakan serangga, laba-laba, telur burung, dan burung kecil.Karena takut air, siamang akan mencelupkan kaki depannya ke dalam air atau menggosok tangan pada daun yang basah dan menghisap air pada bulu kakinya sebagai minuman.

Proboscis monkey - Nasalis larvatus

Nasalis lavartus - monyet belanda
Di Kalimantan , jenis kera ini dikenal juga denganBentangan, Raseng dan Kahau. Bekantan(Nasalis larvatus)
adalah satwa yang tergolong kedaIam ordo Primata, Famili Cercophithe Cidae,Subfamili Coleginae. Satwa ini hidup endemik diTannan Nasional Gunung Palung dan hutan-hutan dikepulauan Kalmantan. Tidak heran, apabila satwa inidan Orangutan (Pongo pygmaeus) menjadi satwaprimadona Taman Nasional Gunung Palung, sehinggabekantan menjadi logo resmi dan narna buletin BalaiTaman Nasional Gurtung Palung (Nasalis). Bekantandisebut sebagai Kera Belanda, karena memiliki hidung yang menonjol agak lebar menggantung kedepan seperti hidung orang belanda. Selain itu binatang ini disebut jugaBakara, Hakau, Rasung, Pika, Batangan atau dalam bahasa inggris biasa disebut ProboscisMonkey. Selain mempunyai hidung yang panjang, Bekantan juga mempunyai morfologi yangkhas yaitu mempunyai selaput diantara jari kaki dan tangan serta sistem pencenaan yangsama dengan rusa, jerapah. sapi, domba. dan kambing yang disebut Rominansia, dan jugamempunyai sistem sosial yang unik dihabitatnya. Bekantan ( Nasalis larvatus ) merupakanspesies primata bukan-manusia yang unik dan dikategorikan dimorfisme seksual. Primatadiurnal ini endemik Borneo (Kalimantan, Sabah, Serawak, Brunei Darussalam). Tubuhnya berwarna coklat kekuningan atau coklat kemerahan; kadang-kadang orang menyebut warnatubuhnya jingga atau oranye. Jantan tidak hanya memiliki tubuh yang ukurannya lebih besar daripada betina tetapi memiliki hidung berbentuk khas yang berbeda dari hidung betina.Hidung si jantan berbentuk seperti umbi menggantung dan berukuran panjang, sedangkanhidung si betina mancung saja, seperti layaknya hidung manusia. Karena warna tubuh dan bentuk hidung demikian, masyarakat sering menyebut bekantan ini kera belanda.Primata inidikenal pandai berenang dan menyelam,bahkan juga sering terlihat sedang berjalan dilumpur
.

The orangutans are the great apes. Native to Indonesia...

The orangutans are the exclusively Asian species of extant great apes. Native to Indonesia like Sumatra and Borneo, orangutans are currently found in only the rainforests of Borneo and Sumatra. Classified in the genus Pongo, orangutans were considered to be one species. However, since 1996, they have been divided into two species: the Bornean orangutan (P. pygmaeus) and the Sumatran orangutan (P. abelii). In addition, the Bornean species is divided into three subspecies. The orangutans are also the only surviving species of the subfamily Ponginae, which also included several other species, such as Gigantopithecus, the largest known primate. Both species had their genomes sequenced and they appear to have diverged around 400,000 years ago. Orangutans diverged from the rest of the great apes 15.7 to 19.3 million years ago 

Sabtu, 08 Juni 2013

Temukan Kura-kura Raksasa di Hutan Meratus

Biodiversitas Indonesia - Setelah sekian lama keberadaan Kura-kura Kaki Gajah tidak pernah terlihat dipegunungan Meratus akhirnya pada Kamis (6 Juni 2013) kemaren tim Biodiversitas Indonesia berhasil melacak keberadaanya, Kura Kaki Gajah atau Manouria emys adalah  salah satu dari sedikit tortoise atau kura-kura darat terbesar di Asia. Emys dapat tumbuh hingga mencapai panjang sekitar 80cm dengan berat sekitar 37 kilogram. Di Indonesia, kura kura Emys tersebar dari Sumatera hingga Kalimantan. Namun untuk wilayah kalimantan sekarang sangat sulit temukan, terutama kawasan pegunungan Meratus.
Kura kaki gajah
Kura Kaki Gajah

Temuan Ekspedisi Meratus dari Biodiversitas Indonesia tersebut merupakan langkah awal yang penting  sebagai penyemangat untuk terus melakukan upaya melacak keberadaan Flora dan Fauna Pegunungan Meratus yang saat ini telah menghilang karena berbagai aktifitas dan kegiatan alih fungsi hutan maupun faktor lainnya.
Kura-kura kaki gajah
Kura Kaki Gajah (Manouria emys)

“Temuan secara tak sengaja ini cukup menggembirakan bagi Tim observasi dari Biodiversitas Indonesia. Karena satu lagi kekayaan satwa hutan meratus ditemukan keberadaannya, apalagi kura-kura raksasa semacam ini adalah merupakan kura-kura langka dan termasuk juga peninggalan satwa purba ”, jelas Amalia Rezeki ketua Biodiversitas Indonesia.
Feri ketua tim ekspedisi Biodiversitas Indonesia dilokasi penemuan  kura-rura raksasa

Kura-kura emys ini ditemukan terselib dibalik bebatuan diantara semak belukar diatas gunung pada ketinggian sekitar 500-600m dpl. Dialam liar memang kura-kura emys menyukai tempat yang lembab, jadi tak meherankan jika ia biasa menggali lubang dengan kuku serta kakinya yang kokoh dan kuat untuk dijadikan tempat berteduh dari panasnya terik matahari. Disamping itu kura-kura emys juga gemar berendam dikubangan air dangkal. “ Sebenarnya ada dua ekor yang terlihat disekitar hutan ini, namun yang satunya sudah menghilang, bahkan kami juga pernah menemukan yang ukuran lebih besar lagi dari yang ada ini dan bisa diduduki oleh orang dewasa,” tutur Alek lelaki keturunan dayak bukit ini menceritakan

Cerita tentang keberadaan emys ini membuat Biodiversitas Indonesia akan menyiapkan tim khusus  untuk melakukan penelitian lebih lanjut tetang Manouria emys borneo. Melihat kondisi habitatnya yang mulai terancam dari perambahan hutan dan desakan pembangunan. Biodiversitas Indonesia mengharapkan adanya kerjasama dengan pihak terkait untuk melakukan penangkaran. Karena menurut pengalaman, breeding kura-kura jenis ini tidaklah sulit. Kura-kura emys bertelur antara 5-10 butir dengan masa eram sekitar 3 bulan. Karena jika tidak diambil langkah konservasi, khususnya melalui program konservasi ex-situ dengan penangkaran, maka akan dipastikan lambat laun populasinya akan menyusut, dikarenakan habitatnya sudah sangat terdesak. “ Semestinya Kalimantan Selatan sudah waktunya memiliki taman nasional agar kawasan konservasi lebih terjaga dengan baik,” tutur Amalia Rezeki. (Humas Biodiversitas Indonesia)