Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 27 Mei 2017

Biodiversitas Indonesia bangun kawasan konservasi katak


Banjarmasin (ANTARA News) - Pusat Studi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia (Biodiversitas Indonesia) bersama UPT Tahura Sultan Adam, Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan membangun kawasan habitat katak.
Konservasi katak
Hylarana picturata
Penggagas konservasi katak di Kalimantan Selatan sekaligus pendiri Biodiversitas Indonesia, Ferry F. Hoesain di Banjarmasin, Minggu mengatakan ekosistem terdiri dari berbagai komponen yang tersusun dengan sempurna, dan setiap komponen memiliki perannya sendiri-sendiri, termasuk dalam hal ini katak. 
Katak Indonesia
Hylarana chalconata
"Dari sini terlihat jelas peran katak dalam sebuah ekosistem sangatlah penting, ia juga merupakan pengendali populasi serangga berbahaya. Untuk Pelestarian katak dan habitatnya, kami berusaha menggandeng berbagai pihak terkait untuk membangun kawasan konservasi katak di Kalsel," katanya.
Foto katak dari genus Leptobrachium
Genus Leptobrachium 
Dia menjelaskan, belantara Kalimantan merupakan habitat utama bagi sejumlah spesies flora dan fauna, termasuk di dalamnya keragaman herpetofauna yang banyak di antaranya sangat langka, endemik, dan belum teridentifikasi. 

Ada sekitar 436 spesies amfibi yang hidup di Indonesia, dan 20 persen merupakan hewan endemik Indonesia, 178 jenis diantaranya dapat dijumpai di Kalimantan bahkan 73 persen endemik , dan 10 persen berada dalam risiko kepunahan karena perubahan dan hilangnya habitat, pencemaran, penyakit, dan faktor lainnya. 

Terdapat beberapa jenis katak langka dan unik yang ditemukan di hutan hujan Kalimantan. 

Seperti Katak Pelangi yang pada tahun 2010 pernah ditetapkan sebagai Top 10 Most Wanted Lost Frogs (Sepuluh Katak Langka Paling Dicari) oleh SSC IUCN global Spesialis Amfibi dan Conservation International. 

Katak pelangi ini terakhir pernah sekali terlihat pada tahun 1924. Hingga pada Juli 2011 ketika para peneliti menemukan kembali katak pelangi di pulau Kalimantan. 

Begitu juga tentang penemuan kembali katak unik dan Katak langka tanpa paru-paru yang hidup di hutan Kalimantan berhasil didokumentasikan di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat. 

Spesies bernama Barbourula kalimantanensis yang pernah dinyatakan punah pada 1978. 

Belum lagi salah satu spesies katak terkecil seperti Microhyla borneenis yang juga dapat dijumpai dikawasan Taman Hutan Raya Sultan Adam, Kalimantan Selatan, berdasarkan laporan hasil penelitian dari Pusat Sudi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia (Biodiversitas Indonesia) yang dipimpin Ferry F.Hoesain pada Mei 2017.

Perubahan iklim, rusaknya habitat dan perburuan merupakan merupakan momok yang mendorong terjadinya kepunahan masal bahkan menjadi 100 kali lebih cepat, sementara informasi mengenai objek-objek yang dikonservasi tersebut minim. 

"Inilah yang dapat menyebabkan, spesies tersebut punah sebelum dipelajari atau bahkan ditemukan. Untuk itu perlu adanya upaya perlindungan bagi spesies-spesies hepertofauna yang ada, terlebih yang belum teridentifikasi dan terisolasi," jelas anggota tim peneliti katak dari Pusat Studi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia, Zainudin.

Untuk menjaga dan melestarikan keragaman jenis katak serta habitatnya, Pusat Studi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia akan membuat program perlindungan dan pelestarian kawasan habitat katak dilokasi tersebut bekerja sama dengan UPT Tahura Sultan Adam. 

Dimulai dengan kegiatan, sosialisasi dan edukasi, perbaikan habitat serta melakukan kegiatan patroli kawasan, mengingat habitat katak tersebut berada dekat dengan kegiatan ekowisata dan hutan pendidikan.

Saat ini Pusat Studi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia bersama Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan dalam hal ini UPT Tahura Sultan Adam sedang merencanakan membangun kerja sama perlindungan kawasan habitat katak, mengingat Tahura Sultan Adam memiliki cukup banyak keragaman jenis katak," kata Ketua Pusat Studi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia, Amalia Rezeki. 

Termasuk salah satu jenis katak terkecil seperti Microhyla borneensis, bahkan masih memungkinkan adanya spesies baru yang belum terungkap. Untuk itu kami masih terus melakukan penelitian katak di kawasan tersebut. 

Katak merupakan salah satu indikator biologis kerusakan lingkungan. Hilangnya populasi katak di sebuah ekosistem menjadi indikator sederhana kerusakan lingkungan. 

Taman Hutan Raya Sultan Adam sendiri secara geografis terletak didua kabupaten, yaitu kabupaten Banjar dan Tanah laut, Kalimantan Selatan yang luasnya sekitar 112.000 Ha dengan vegetasi tumbuhan khas hutan hujan tropika. 

Oleh karena itu, tambahnya, kawasan ini menjadi habitat alami herpetofauna yang bagus, khususnya berbagai jenis katak yang unik dan langka seperti Microhyla borneensis, Kalophrynus baluensis, Chaperina fusca, Amnirana nicobariensis, Metaphrynella sundana, Philautus auriasciatus, Megophrys montana, Huia masonii, Limnonectes leporinus, Pseudobufo subasper, dan masih banyak lagi yang bisa kita jumpai di kawasan tesebut.

Editor: Aditia Maruli
COPYRIGHT © ANTARA 2017

Rabu, 15 Maret 2017

Amphibian Field Ecology & Taxonomy Worksshop

Amphibian Field Ecology & Taxonomy Worksshop - Prof. Sathyabhama Das Biju - University of Delhi - 13-17 March 2017 ... Biodiversitas Indonesia - ULM mengirim peneliti mudanya Zainuddin.






Amalia Rezeki: Save Proboscis Monkeys, Save Everything!

In Borneo, the island with the oldest rain forests nicknamed the lungs of the world - endangered proboscis monkeys have just found their voice in a local, female ambassador. Gorillas had Dian Fossey, orangutans have Birute Galdikas, chimpanzees have Jane Goodall, and the forth largest primates, the proboscis monkeys, have Amalia Rezeki. 

The spokesperson for Sahabat Bekantan Indonesia (SBI), the largest proboscis rehabilitation centre in the world, Amalia is fanatic in her efforts to reshape any false perceptions of the long-nosed monkey - through socialization and weekly appearances in the media. The proboscis monkey has now been made the mascot of her home city of Banjarmasin. Marking the end of the fanatic conservatism of the past, the city's only statue, glowing indigo by night, is a seven meter tall proboscis monkey that spits water into a river.

Amalia spends her days penetrating the shielded public sphere to leave a loaded message of the animals' importance behind in simple, every day language – barbed to be remembered. Quick to kill these great primates like pests, farmers should know that proboscis monkeys have almost no defences, are very timid, endangered, and easy to frighten off. They are also often burnt alive or orphaned in the slashing and burning of Borneo's 140-million-year-old forests for the sewing of cash crops - such as palm oil plantations. Often landowners would rather burn the evidence of endangered species, such as the proboscis monkey or the orangutan, rather than evacuate them.

SBI's campaigns are creative in combating rumours - that eating the monkey's meat will improve stamina, for example. There is also a small population believing a myth that especially evil Dutch colonialists were long ago transformed into proboscis monkeys (note that colonialists wore beige and had long noses, too) – and this kind of slander does not help their plight. It is clear that human ignorance, fantasy, coupled with the primates' own gentle nature, threatens the existence of these handsomely nautical herbivores.

Through the media, SBI's message had already reached the boardwalk community of Teluk Medung when the community discovered tens of proboscis monkeys living on the banks of their riverside settlement. When they contacted SBI for help, Amalia arrived to oversee the animals' relocation to the conservation island of Bakut. In Borneo's economy, to do the right thing - instead of following the usual profit motive – is a deed that should be rewarded. As such, Amalia often brings foreign volunteers from the wildlife rescue centre to spend time with the kids here in the village of Teluk Mendung. The children have met, sung with, been taught by, and received presents from French, German, and Canadian people - all as a result of their conscious decision to draw the line, and stand for the animals.

On the banks of the Barito River these kids await new visitors, ready with a repertoire of songs that Amalia herself has taught them. The time she has invested here is proof that she does not get ahead of herself, but sticks to a ground up approach – albeit under the ambitious slogan:
"Save the proboscis! Save everything!". - David Arthur